Persamaan Kedua Pemimpin
Dengan latar belakang ini, mari kita kaji lebih dalam poin-poin kesamaan antara Ibrahim Traoré dan Muammar Gaddafi.
1. Anti-Kolonialisme dan Sentimen Anti-Barat Baik Traoré maupun Gaddafi dikenal sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme modern yang masih hadir dalam bentuk dominasi ekonomi, politik, dan militer oleh negara Barat. Gaddafi sangat menentang intervensi AS dan Eropa di Timur Tengah dan Afrika, serta mendorong pengusiran pangkalan militer asing dari Libya. Ia juga mendukung gerakan pembebasan di seluruh benua, termasuk ANC di Afrika Selatan dan gerakan kemerdekaan di Chad dan Eritrea. Traoré, sebagai pemimpin muda Burkina Faso, bersikap serupa terhadap Prancis, yang secara historis menjajah negaranya. Ia menghentikan kerja sama militer dengan Prancis dan beralih ke dukungan Rusia dan negara Afrika lainnya. Dalam setiap pidatonya, ia menekankan pentingnya kedaulatan Afrika sejati dan menolak "neo-kolonialisme", kekuasaan tersembunyi yang menurutnya masih mengatur negara-negara Afrika melalui utang, militer, dan korporasi asing.
2. Pan-Afrikanisme sebagai Visi Politik Gaddafi menjadikan pan-Afrikanisme sebagai landasan ideologi politiknya. Ia mengusulkan pembentukan "United States of Africa", konfederasi negara-negara Afrika yang bersatu secara politik dan ekonomi. Ia juga menggagas mata uang tunggal Afrika berbasis emas dan menyerukan penghapusan ketergantungan Afrika pada lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Traoré, meski belum seluas Gaddafi dalam menyusun struktur pan-Afrika formal, menunjukkan hal serupa: membangun aliansi dengan pemimpin junta militer Mali dan Niger, serta menyerukan blok militer dan ekonomi baru di wilayah Sahel yang bebas dari kendali negara Barat. Ia juga menggunakan simbolisme Afrika dalam retorikanya, serta menyerukan solidaritas antarnegara di kawasan yang terdampak konflik dan intervensi asing. Ia digambarkan sederhana, dekat dengan rakyat, dan menyebut pemerintahannya sebagai kelanjutan revolusi Thomas Sankara, pahlawan revolusioner Burkina Faso yang menggulingkan kekuasaan korup dan pro-Barat. Seperti Gaddafi, ia menggunakan bahasa revolusioner untuk melegitimasi kekuasaannya.
3. Naik Lewat Kudeta Militer yang Diklaim sebagai “Revolusi Rakyat” Gaddafi merebut kekuasaan di Libya melalui kudeta terhadap Raja Idris I pada tahun 1969, yang ia sebut sebagai revolusi rakyat untuk membebaskan Libya dari sistem monarki yang korup dan tunduk pada Barat. Ia membentuk pemerintahan baru dengan ideologi yang diklaim berdasarkan sosialisme Islam dan demokrasi rakyat, meskipun praktiknya menunjukkan kekuasaan yang sangat terpusat padanya. Traoré naik ke tampuk pimpinan melalui kudeta militer pada 2022, menggulingkan Presiden Paul-Henri Damiba.
4. Gaya kepemimpinan Gaddafi sangat khas, ditandai dengan penampilannya yang unik, pidato-pidato berapi-api, serta pemakaian simbol budaya dan agama untuk memperkuat posisinya sebagai pemimpin revolusioner sejati. Alih-alih tinggal di istana mewah, ia memilih tenda Bedouin, melambangkan kedekatannya dengan rakyat biasa. Ia juga menempatkan dirinya sebagai "Raja Diraja Afrika" dan pemimpin moral bagi dunia Islam-Afrika. Sementara itu, Traoré hadir dengan karisma yang kuat, seringkali mengenakan seragam militer dan senyum yang selalu menghiasi wajahnya. Ia kerap terlihat di garis depan pertempuran melawan kelompok teroris, dengan gaya komunikasi yang sederhana namun tegas. Penggunaan simbol-simbol lokal, seperti kerajinan tangan dan bendera tradisional dalam acara politik, menunjukkan akar budayanya yang kuat.
5. Gaddafi mengambil langkah berani dengan menasionalisasi sumber daya alam Libya, khususnya minyak, yang sebelumnya dikuasai perusahaan asing. Hasil dari minyak ini kemudian digunakan untuk membiayai berbagai program sosial, kesehatan, pendidikan, serta membantu pembangunan di negara-negara Afrika lainnya. Hal ini menjadikan Libya sebagai salah satu negara dengan tingkat pembangunan manusia tertinggi di Afrika sebelum tahun 2011. Traoré, dengan kekayaan emas dan logam langka di Burkina Faso, juga mulai menerapkan kebijakan serupa. Ia mengusulkan regulasi yang lebih ketat bagi perusahaan tambang asing, serta meninjau ulang beberapa kontrak yang ada. Baginya, kedaulatan ekonomi dan pembagian hasil sumber daya yang adil sangat penting, terutama untuk mendukung pendidikan dan sektor pertanian rakyat kecil.
6. Baik Gaddafi maupun Traoré sama-sama menggunakan retorika "kedaulatan rakyat" dan menentang elitisme, memposisikan diri sebagai pembela rakyat kecil dan penentang korupsi. Dalam Green Book-nya, Gaddafi menolak demokrasi parlementer ala Barat, menyebutnya sebagai bentuk tirani elit, dan mengusulkan sistem komite rakyat. Traoré menyerukan perubahan mendasar dalam pemerintahan Burkina Faso, menolak pengaruh elite politik lama, dan melibatkan perwira muda serta aktivis sipil dalam pemerintahan. Keduanya juga mengkritik sistem internasional yang dianggap hanya menguntungkan negara-negara kaya dan berkuasa. Dalam pidatonya, Traoré sering menyinggung bahwa organisasi global seperti IMF dan PBB tidak pernah membela kepentingan rakyat Afrika, sejalan dengan semangat Gaddafi yang telah lama menyerukan reformasi radikal terhadap tatanan dunia.
7. Kedua pemimpin ini menghadapi tantangan keamanan yang berat: Gaddafi harus mengatasi tekanan eksternal dan pemberontakan internal, sementara Traoré memimpin negara yang dikelilingi oleh kelompok jihad dan konflik etnis. Dalam menghadapi situasi tersebut, keduanya mengandalkan kekuatan militer sebagai cara utama untuk menjaga stabilitas. Meskipun pendekatan ini membuahkan hasil dalam beberapa aspek, namun juga memicu kritik terhadap potensi otoritarianisme dan pembatasan kebebasan sipil. Di Libya, Gaddafi menekan oposisi politik, membatasi kebebasan media, dan membangun jaringan intelijen domestik yang luas. Di Burkina Faso, Traoré menunda pemilihan umum dan memperpanjang masa transisi, dengan alasan bahwa stabilitas dan keamanan adalah prioritas utama. Akibatnya, aktivitas jurnalis dan aktivis sipil dibatasi, dan suara-suara oposisi diredam atas nama keamanan nasional. Gaddafi dan Traoré sama-sama punya daya tarik kuat di mata masyarakat kecil, terutama kaum miskin, petani, dan generasi muda yang merasa kurang diperhatikan oleh pemerintahan sebelumnya. Dulu, Gaddafi sangat populer karena menyediakan fasilitas kesehatan dan pendidikan tanpa biaya. Anak muda Burkina Faso juga mengagumi Traoré, melihatnya sebagai harapan; seorang tentara muda biasa yang berani melawan ketidakadilan yang sudah lama terjadi. Keduanya menggunakan media nasional, lambang-lambang perjuangan, dan gaya hidup sederhana untuk menunjukkan bahwa mereka adalah pemimpin yang dekat dengan rakyat. Akan tetapi, dukungan ini terus diuji oleh keadaan ekonomi, masalah keamanan, dan tekanan dari negara lain. Persamaan antara Ibrahim Traoré dan Muammar Gaddafi bukan cuma kebetulan sejarah, tetapi juga mencerminkan bagaimana kekuasaan dan perjuangan di Afrika seringkali membuat rakyat menginginkan pemimpin yang kuat, cinta tanah air, dan tidak pro-Barat. Kedua pemimpin ini muncul ketika negara mereka sedang mengalami masa sulit, baik dari segi militer, ekonomi, maupun ideologi. Mereka memilih jalan yang berani, meski kadang menimbulkan kontroversi, untuk menjaga negara dan menciptakan arah baru yang mereka anggap lebih adil dan berdikari. Namun, sejarah juga memberi pelajaran bahwa perubahan besar seringkali memicu masalah baru jika tidak ada perubahan aturan dan kesempatan untuk berdiskusi dengan baik. Gaddafi akhirnya jatuh karena campur tangan negara lain yang tidak menyukai kepemimpinannya. Nasib Traoré masih belum bisa dipastikan, tapi tantangan yang dihadapinya mengingatkan kita bahwa semangat perubahan harus dibarengi dengan kebijakan yang bijaksana dan hati-hati dalam menjalankan kekuasaan.
Tags
afrika